Amir, begitu mereka memanggil ku.
Ini bukan nama ku yang sebenarnya namun sekedar julukan akan seorang anak
kampung yang selalu berperawakan acak-acakan yang dianugrahkan teman-teman
sekolah ku. Sudah tiga tahun Aku menimba ilmu pendidikan di tapak wajah
Indonesia ini, desa Badau yang juga telah membesarkan ku selama 17 tahun.
Besok, Aku akan pergi ke ibu kota
Khatulistiwa (Pontianak) untuk menimba ilmu agar dapat menjadi seorang sarjana.
Tentu kota itu akan lebih megah dari desa ku ini. Tentu penuh dengan mereka
yang berkulit putih dan hitam, berambut lurus dan keriting yang berwarna hitam
kuning merah putih atau pun hijau. Apa pun itu akan ku lihat di sana nantinya.
22 jam sudah perjalanan ku, dari
kampung terpencil ke kota yang sangat ramai ini. Bayangkan saja, saat ini jam 2
subuh, dari dalam bus ini ku lihat masih banyak mereka yang duduk-duduk di warung
kopi di Jalan Gajah Mada itu. Ku lihat mereka senyum-senyum dan tertawa-tawa
dengan secangkir kopi di depannya, disana juga ada beberapa wanita muda lo.
“Nak, jangan cari cewek yang suka
keluyuran malam-malam, biasanya itu wanita tidak benar” terniang di pikiran ini
pesan sang ibu, saat ku lihat pakaiannya yang cukup terbuka di malam yang
dingin saat itu. Namun ku coba memahami, kota ini bukanlah kampung ku yang dulu.
Kini sudah tiga bulan ku pijaki bumi
Khatulistiwa ini, rambut ku tidak lagi seperti
tempurung kelapa, tidak lagi bercelanakan jeans yang lusuh itu. Sedikit trendi
seperti mereka yang asli di kota ini, berbajukan kemeja panjang kotak-kotak dan
celana jeans ala-ala botol gitu. Aku juga sudah bersetatuskan seorang
mahasiswa. Banyak sahabat di sekitar ku mulai dari mata yang sipit hinga yang
jelalatan. Namun mereka sahabat yang baik dan bisa menerima Aku apa adanya.
Malam itu ada sesuatu yang
berbeda. Aku pergi bersama seorang teman baik ku, sama-sama berasal dari
kampung dan sejalan dalam materi juga pergaulan. Aku dan Bagong (sapaan
akrabnya ini) pergi untuk bertemu seorang teman di sebuah kios kecil di dekat
sebuah jembatan besi yang tepat di depannya ada sebuah pohon ara besar dan tua.
Di situ kami menjumpai seorang
gadis yang sangat belia, amat menarik namun sedikit aneh dengan matanya yang
berukirkan tinta sepidol itu. Serupa dengan lipstick hitamnya. Wanita itu
memberikan selembaran uang seratus ribuan kepada pemilik kios itu dan mengambil
sebuah bungkus. Bungkus pelastik bening dengan obat seperti parasetamol. “Dia
mungkin sakit makanya membeli obat. Tapi obat demam kok belinya di kios bensin
ya??,” itu yang tersirat dipikiran ku saat itu, namun seiring teguran Bagong
yang menepuk punggung ku, hal tersebut berlalu begitu saja.
Tak lama kemudian, Aku dan Bagong
dijemput mereka, ya mungkin teman-temannya si pemilik kios itu. “Aku tidak
kenal mereka, tapi apa salahnya jika menambah teman toh??,” dengan pikiran ini Aku
pergi bersama mereka dan Bagong ke sebuah kedai. Penerangan di tempat itu
sedikit redup, namun tempat itu juga berhias lampu yang kelap-kelip berwarna
biru, hijau dan kuning. Musik yang sebelumnya berlantun khas dengan lagu-lagu daerahnya
berganti dengan dentuman-dentuman khas diskotik tepat saat tengah malam
menjelang.
Ketika itu, salah seorang dari
rombongan yang bersama ku tadi menghampiri. “Dunia memang sempit untuk kita,
namun Dunia adalah milik kita” katanya. Seiring dia mengatakan hal itu ku lihat
di tangannya terdapat bungkusan dan obat yang sama seperti obat parasetamol
yang tadi dibeli seorang perempuan belia di kios bensin.
“Ini harganya 100 ribu, Ini
harganya 50 ribu” terangnya kepada ku dan Bagong semabari mengoyang-goyangkan
bungusan bening yang berisikan paracetamol dan bubukan yang menyerupai garam itu.
“Kalian bisa hidup senang apabila
teman-teman mu makan ini, kuliah tidak bebani orang tua, duit banyak,” ungkapnya
lagi sambil tertawa. Kala itu, Aku hanya berpikir dia sedang mabuk.
“kalau kamu mau gabung minggu
depan kumpul lagi dengan kita,” tawarnya kepada Ku dan Bagong yang saat itu
sedang menikmati dentuman-dentuman sound sitem kedai itu.
“ia bang” jawab ku dengan sedikit
ragu.
Di tempat itu, Aku juga tersadar
tawaranya itu tentu akan melawan Hukum Negeri Ku. Aku juga akan menghancurkan
teman-teman ku dengan parasetamol dan butiran garam itu. “Hidup tak tenang atau
mati tertembus peluru,” itu yang terpikir oleh ku saat itu. Setelah tersentak
dan tersadar, Aku dan Bagong langsung pulang ke kos-kosan tempat kami tinggal
meningalkan teman-teman baru yang tak satu pun memperkenalkan namanya itu.
Kini, 5 tahun sudah semenjak
malam bersejarah itu. Aku sadari kenyataannya tentu berbeda dengan saat ini,
apabila malam itu Aku tergiur dengan illegal bisnis itu. Tidak lagi Aku dikenal
sebagai, Julianda Prasasti sang novelis terkenal. Mungkin Aku sudah bergelar
Amir si DPO, apabila Aku pilih bisnis itu. Mungkin sudah ratusan nyawa yang Aku
bunuh dengan obat-obatan itu.
“Puji
Tuhan, saat ini Aku berada di jalan yang benar”
Ketika Diri Mu Ragu, Andalkanlah Kata Hati Mu. Karena Hati Adalah Anugrah
Terbesar Oleh Tuhan Untuk Manusia Dan Hati Juga Takkan Pernah Salah.