Senin, 17 Desember 2012

Hampir Jadi Bandar Narkoba



Amir, begitu mereka memanggil ku. Ini bukan nama ku yang sebenarnya namun sekedar julukan akan seorang anak kampung yang selalu berperawakan acak-acakan yang dianugrahkan teman-teman sekolah ku. Sudah tiga tahun Aku menimba ilmu pendidikan di tapak wajah Indonesia ini, desa Badau yang juga telah membesarkan ku selama 17 tahun.
Besok, Aku akan pergi ke ibu kota Khatulistiwa (Pontianak) untuk menimba ilmu agar dapat menjadi seorang sarjana. Tentu kota itu akan lebih megah dari desa ku ini. Tentu penuh dengan mereka yang berkulit putih dan hitam, berambut lurus dan keriting yang berwarna hitam kuning merah putih atau pun hijau. Apa pun itu akan ku lihat di sana nantinya.

22 jam sudah perjalanan ku, dari kampung terpencil ke kota yang sangat ramai ini. Bayangkan saja, saat ini jam 2 subuh, dari dalam bus ini ku lihat masih banyak mereka yang duduk-duduk di warung kopi di Jalan Gajah Mada itu. Ku lihat mereka senyum-senyum dan tertawa-tawa dengan secangkir kopi di depannya, disana juga ada beberapa wanita muda lo.
“Nak, jangan cari cewek yang suka keluyuran malam-malam, biasanya itu wanita tidak benar” terniang di pikiran ini pesan sang ibu, saat ku lihat pakaiannya yang cukup terbuka di malam yang dingin saat itu. Namun ku coba memahami, kota ini bukanlah kampung ku yang dulu.
Kini sudah tiga bulan ku pijaki bumi Khatulistiwa ini, rambut ku  tidak lagi seperti tempurung kelapa, tidak lagi bercelanakan jeans yang lusuh itu. Sedikit trendi seperti mereka yang asli di kota ini, berbajukan kemeja panjang kotak-kotak dan celana jeans ala-ala botol gitu. Aku juga sudah bersetatuskan seorang mahasiswa. Banyak sahabat di sekitar ku mulai dari mata yang sipit hinga yang jelalatan. Namun mereka sahabat yang baik dan bisa menerima Aku apa adanya.

Malam itu ada sesuatu yang berbeda. Aku pergi bersama seorang teman baik ku, sama-sama berasal dari kampung dan sejalan dalam materi juga pergaulan. Aku dan Bagong (sapaan akrabnya ini) pergi untuk bertemu seorang teman di sebuah kios kecil di dekat sebuah jembatan besi yang tepat di depannya ada sebuah pohon ara besar dan tua.
Di situ kami menjumpai seorang gadis yang sangat belia, amat menarik namun sedikit aneh dengan matanya yang berukirkan tinta sepidol itu. Serupa dengan lipstick hitamnya. Wanita itu memberikan selembaran uang seratus ribuan kepada pemilik kios itu dan mengambil sebuah bungkus. Bungkus pelastik bening dengan obat seperti parasetamol. “Dia mungkin sakit makanya membeli obat. Tapi obat demam kok belinya di kios bensin ya??,” itu yang tersirat dipikiran ku saat itu, namun seiring teguran Bagong yang menepuk punggung ku, hal tersebut berlalu begitu saja.
Tak lama kemudian, Aku dan Bagong dijemput mereka, ya mungkin teman-temannya si pemilik kios itu. “Aku tidak kenal mereka, tapi apa salahnya jika menambah teman toh??,” dengan pikiran ini Aku pergi bersama mereka dan Bagong ke sebuah kedai. Penerangan di tempat itu sedikit redup, namun tempat itu juga berhias lampu yang kelap-kelip berwarna biru, hijau dan kuning. Musik yang sebelumnya berlantun khas dengan lagu-lagu daerahnya berganti dengan dentuman-dentuman khas diskotik tepat saat tengah malam menjelang.
Ketika itu, salah seorang dari rombongan yang bersama ku tadi menghampiri. “Dunia memang sempit untuk kita, namun Dunia adalah milik kita” katanya. Seiring dia mengatakan hal itu ku lihat di tangannya terdapat bungkusan dan obat yang sama seperti obat parasetamol yang tadi dibeli seorang perempuan belia di kios bensin.
“Ini harganya 100 ribu, Ini harganya 50 ribu” terangnya kepada ku dan Bagong semabari mengoyang-goyangkan bungusan bening yang berisikan paracetamol dan bubukan yang  menyerupai garam itu.
“Kalian bisa hidup senang apabila teman-teman mu makan ini, kuliah tidak bebani orang tua, duit banyak,” ungkapnya lagi sambil tertawa. Kala itu, Aku hanya berpikir dia sedang mabuk.
“kalau kamu mau gabung minggu depan kumpul lagi dengan kita,” tawarnya kepada Ku dan Bagong yang saat itu sedang menikmati dentuman-dentuman sound sitem kedai itu.
“ia bang” jawab ku dengan sedikit ragu.
Di tempat itu, Aku juga tersadar tawaranya itu tentu akan melawan Hukum Negeri Ku. Aku juga akan menghancurkan teman-teman ku dengan parasetamol dan butiran garam itu. “Hidup tak tenang atau mati tertembus peluru,” itu yang terpikir oleh ku saat itu. Setelah tersentak dan tersadar, Aku dan Bagong langsung pulang ke kos-kosan tempat kami tinggal meningalkan teman-teman baru yang tak satu pun memperkenalkan namanya itu.

Kini, 5 tahun sudah semenjak malam bersejarah itu. Aku sadari kenyataannya tentu berbeda dengan saat ini, apabila malam itu Aku tergiur dengan illegal bisnis itu. Tidak lagi Aku dikenal sebagai, Julianda Prasasti sang novelis terkenal. Mungkin Aku sudah bergelar Amir si DPO, apabila Aku pilih bisnis itu. Mungkin sudah ratusan nyawa yang Aku bunuh dengan obat-obatan itu.
“Puji Tuhan, saat ini Aku berada di jalan yang benar”
Ketika Diri Mu Ragu, Andalkanlah Kata Hati Mu. Karena Hati Adalah Anugrah Terbesar Oleh Tuhan Untuk Manusia Dan Hati Juga Takkan Pernah Salah.