Sabtu, 04 Oktober 2014

‘Padi’ dan Kehidupan



Udara pagi ini terasa menusuk tulang. Rintikan hujan juga terdengar kian mengeras di atap pondok. Hati Ardi pun serasa malas untuk membajak sawah, tapi  ia tak tega membiarkan sang ayah sendiri disana.
 
Hujan pun mulai mereda, matahari mulai Nampak, demikian juga kehangatan mentari mulai terasa. Ardi dan ayahnya beranjak ke bagian sawah yang sudah siap panen. Disana, padi sudah menguning. Sang Ibu dan kerabatnya pun tampak kompak memotong padi-padi yang ada. Ketika berdiri menatap padi-padi yang tampak merindang itu, sang ayah mulai menyampaikan amanatnya.

 “Nak, dalam hidup kita juga dapat belajar dari alam. Seperti padi ini, menjadi sumber kehidupan manusia, walau pun ia hanya butiran-butiran kecil,” ucap sang ayah sambil mengatam padi.
“Ia yah, saya ngerti. Sudah tiap pagi ayah bilang gitu” tutur Ardi sambil tersenyum.

Usai mengatam, Ardi pun bergegas pulang ke pondoknya. Setelah mandi, ia buru-buru mengambil buku lalu pergi ke sekolah. Ardi yang sudah mengijak kelas XII SMA di kecamatan Pengkadan, bergegas masuk keruangan kelas untuk mengikuti ujian akhir nasional. Selang beberapa bulan, hasil ujian diumumkan. Dari ujian itu, Ardi menjadi lulusan dengan nilai terbaik. Mengetahui dirinya menjadi yang terbaik, Ardi lalu mengabarkannya kepada sang Ibu.

“Mak aku dapat nilai terbaik. Puji Tuhan, dengan nilai ini aq bisa mudah masuk kuliah, aku mau masuk fakultas hukum Pontianak mak, biar bisa jadi pengacara hebat,” ujar Ardi dengan penuh semangat. 
Melihat raut gembira Ardi, sang ibu berupaya menyimpan kegundahan hatinya, karena ia tahu sang ayah tak mampu untuk membiayai kuliah Ardi. “Iya nak selamat ya, nanti semoga cita-cita mu tercapai” tutur sang Ibu dengan senyumannya.

Ardi menyadari ibu dan ayahnya tak mampu membiayai kuliah. Ketika pendaftaran fakultas hukum dibuka, Ardi pun nekat untuk mengikutinya. Ia berangkat ke Pontianak diam-diam dengan meninggalkan selembar surat kepada sang Ayah. Sang ayah yang menemukan surat tersebut terkejut, Ia tak menyangka anak tunggalnya itu pergi kuliah. Dalam suratnya Ardi menulikan ‘Ayah dan Emak, Ardi Pasti Jadi Orang Sukses. Emak dan Bapak Pasti Bangga’.

Ardi yang sendirian di kota Pontianak, berjuang keras. Ia berkerja paruh waktu untuk membiayai kuliahnya. Hinaan dan hujatan dari rekan kuliahnya tak membuatnya surut, hingga Ia meraih gelar Magister Hukum. Perjuangan Ardi berbuah manis, hingga Ia menjadi pengacara handal.

Suatu ketika Ardi menangani perkara pembunuhan seorang Pengusaha Walet. Ia dipercayakan membela Tersangka pembunuhan yang merupakan seorang gadis remaja. Karena hendak diperkosa sang gadis membela diri hingga menyebabkan sang pengusaha tewas.
Dalam penanganan perkara itu Ardi selalu mendapat bujukan dari pihak pengusaha untuk mengalah, sehingga kliennya bisa dihukum mati. Ardi bahkan dijamin kehidupannya akan bergelimang harta. Tawaran itu membuat keyakinan Ardi berubah. “Kesempatan ini tidak akan datang lagi” tersirat dibenak Ardi. Ia pun menerima tawaran dari pihak pengusaha dan akhirnya gadis remaja tersebut didakwa hukuman mati.

Saat dilakukannya eksekusi mati kepada sang gadis remaja, Ardi hadir dilokasi penghukuman tersebut. Penjagal pun menanyakan permintaan terakhir sang gadis. Sang gadis meminta waktu untuk berdoa selama lima menit bersama Ardi. Dengan perasaan yang serba salah akhirnya Ardi dan sang gadis berdoa. 
Keduanya masuk kepada sebuah gereja kecil, tak jauh dari lokasi eksekusi. keduanya duduk berdampingan di kursi depan. Dengan helaan nafas yang panjang, sang gadis memejamkan mata, berlutut, kemudian mengepalkan kedua tangannya menjadi satu. 
“Tuhan, trimakasih engkau sudah menghadirkan bapak Ardi untuk saya. Dia pria baik yang memberi arti hidup kepada saya, dia seperti padi yang menjadi sumber kehidupan bagi saya. Walau pun saya mati, saya tidak menyesal,” ucap sang gadis seiring air mata yang mengalir di kedua pipinya.
Ardi yang mendengar ketulusan hati dari sang gadis yang akan mati itu menjadi semakin merasa bersalah. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir Ardi, air matanya pun mulai mengalir.
Rasa penyesalan terpendam di hati Ardi, ia juga teringat dengan kata-kata sang ayah yang disampaikan setiap harinya sewaktu membajak sawah. Kehidupan harus layaknya padi, walau menjadi butiran kecil tapi memberi manfaat untuk orang banyak. 
Ardi pun menyadari, Ia masih ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Ia kemudian mengakui kesalahannya kepada pihak berwajib, dan sang gadis remaja tidak jadi dihukum mati. 
Setelah persidangan tahap berikutnya, sang gadis dibebaskan. Sedangkan Ardi harus melepaskan status terhormatnya sebagai pengacara handal, kemudian mendekam di jeruji besi selama dua tahun. 
Usai menjalani hukumannya Ardi pun menjadi aktifis pembela hukum bagi masyarakat miskin yang tertindas. Ribuan kasus yang mengkabing hitamkan masyarakat miskin yang tak bersalah dimenangkan oleh pihaknya. Ardi pun tumbuh sebagai ‘Padi’ yang sesungguhnya. Dari kesuksesannya kini Ardi hidup bahagia dengan ayah dan ibunya.

(Manusia memang tak luput dari kesalahan, tapi  biarkan karnanya hati yang berbicara, agar kesalahan itu bisa kita perbaiki, ‘selagi bisa’. Hidup kita ini juga hanya sekali, hendaknya kehadiran kita dimuka bumi ini bisa berarti untuk orang lain. ) salam hangat YS