Udara pagi
ini terasa menusuk tulang. Rintikan hujan juga terdengar kian mengeras di atap
pondok. Hati Ardi pun serasa malas untuk membajak sawah, tapi ia tak tega membiarkan sang ayah sendiri
disana.
Hujan pun
mulai mereda, matahari mulai Nampak, demikian juga kehangatan mentari mulai
terasa. Ardi dan ayahnya beranjak ke bagian sawah yang sudah siap panen. Disana,
padi sudah menguning. Sang Ibu dan kerabatnya pun tampak kompak memotong padi-padi
yang ada. Ketika berdiri menatap padi-padi yang tampak merindang itu, sang ayah
mulai menyampaikan amanatnya.
“Nak, dalam hidup kita juga dapat belajar
dari alam. Seperti padi ini, menjadi sumber kehidupan manusia, walau pun ia
hanya butiran-butiran kecil,” ucap sang ayah sambil mengatam padi.
“Ia yah,
saya ngerti. Sudah tiap pagi ayah bilang gitu” tutur Ardi sambil tersenyum.
Usai
mengatam, Ardi pun bergegas pulang ke pondoknya. Setelah mandi, ia buru-buru
mengambil buku lalu pergi ke sekolah. Ardi yang sudah mengijak kelas XII SMA
di kecamatan Pengkadan, bergegas masuk keruangan kelas untuk mengikuti ujian akhir nasional. Selang
beberapa bulan, hasil ujian diumumkan. Dari ujian itu, Ardi menjadi lulusan
dengan nilai terbaik. Mengetahui dirinya menjadi yang terbaik, Ardi lalu
mengabarkannya kepada sang Ibu.
“Mak aku
dapat nilai terbaik. Puji Tuhan, dengan nilai ini aq bisa mudah masuk kuliah,
aku mau masuk fakultas hukum Pontianak mak, biar bisa jadi pengacara hebat,”
ujar Ardi dengan penuh semangat.
Melihat raut gembira Ardi, sang ibu berupaya
menyimpan kegundahan hatinya, karena ia tahu sang ayah tak mampu untuk
membiayai kuliah Ardi. “Iya nak selamat ya, nanti semoga cita-cita mu tercapai”
tutur sang Ibu dengan senyumannya.
Ardi
menyadari ibu dan ayahnya tak mampu membiayai kuliah. Ketika pendaftaran
fakultas hukum dibuka, Ardi pun nekat untuk mengikutinya. Ia berangkat ke
Pontianak diam-diam dengan meninggalkan selembar surat kepada sang Ayah. Sang
ayah yang menemukan surat tersebut terkejut, Ia tak menyangka anak tunggalnya
itu pergi kuliah. Dalam suratnya Ardi menulikan ‘Ayah dan Emak, Ardi Pasti Jadi
Orang Sukses. Emak dan Bapak Pasti Bangga’.
Ardi yang sendirian
di kota Pontianak, berjuang keras. Ia berkerja paruh waktu untuk membiayai
kuliahnya. Hinaan dan hujatan dari rekan kuliahnya tak membuatnya surut, hingga
Ia meraih gelar Magister Hukum. Perjuangan Ardi berbuah manis, hingga Ia
menjadi pengacara handal.
Suatu ketika
Ardi menangani perkara pembunuhan seorang Pengusaha Walet. Ia dipercayakan
membela Tersangka pembunuhan yang merupakan seorang gadis remaja. Karena hendak
diperkosa sang gadis membela diri hingga menyebabkan sang pengusaha tewas.
Dalam
penanganan perkara itu Ardi selalu mendapat bujukan dari pihak pengusaha untuk
mengalah, sehingga kliennya bisa dihukum mati. Ardi bahkan dijamin kehidupannya
akan bergelimang harta. Tawaran itu membuat keyakinan Ardi berubah. “Kesempatan
ini tidak akan datang lagi” tersirat dibenak Ardi. Ia pun menerima tawaran dari
pihak pengusaha dan akhirnya gadis remaja tersebut didakwa hukuman mati.
Saat dilakukannya eksekusi mati kepada sang
gadis remaja, Ardi hadir dilokasi penghukuman tersebut. Penjagal pun menanyakan permintaan
terakhir sang gadis. Sang gadis meminta waktu untuk berdoa selama lima menit
bersama Ardi. Dengan perasaan yang serba salah akhirnya Ardi dan sang gadis
berdoa.
Keduanya masuk kepada sebuah gereja kecil, tak jauh dari lokasi eksekusi. keduanya duduk berdampingan di kursi depan. Dengan helaan nafas yang panjang, sang gadis memejamkan mata, berlutut, kemudian mengepalkan kedua tangannya menjadi satu.
“Tuhan, trimakasih engkau sudah menghadirkan
bapak Ardi untuk saya. Dia pria baik yang memberi arti hidup kepada saya, dia
seperti padi yang menjadi sumber kehidupan bagi saya. Walau pun saya mati, saya
tidak menyesal,” ucap sang gadis seiring air
mata yang mengalir di kedua pipinya.
Ardi yang mendengar ketulusan hati dari sang
gadis yang akan mati itu menjadi semakin merasa bersalah. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir Ardi, air matanya pun mulai mengalir.
Rasa penyesalan terpendam di hati Ardi, ia juga teringat
dengan kata-kata sang ayah yang disampaikan setiap harinya sewaktu membajak
sawah. Kehidupan harus layaknya padi, walau menjadi butiran kecil tapi memberi manfaat untuk
orang banyak.
Ardi pun menyadari, Ia masih ada kesempatan untuk memperbaiki
kesalahannya. Ia kemudian mengakui kesalahannya kepada pihak berwajib, dan sang
gadis remaja tidak jadi dihukum mati.
Setelah persidangan tahap berikutnya,
sang gadis dibebaskan. Sedangkan Ardi harus melepaskan status terhormatnya
sebagai pengacara handal, kemudian mendekam di jeruji besi selama dua tahun.
Usai menjalani hukumannya Ardi pun menjadi aktifis pembela hukum bagi masyarakat miskin yang tertindas. Ribuan kasus yang mengkabing hitamkan masyarakat miskin yang tak bersalah dimenangkan oleh pihaknya. Ardi pun tumbuh sebagai ‘Padi’ yang sesungguhnya. Dari kesuksesannya kini Ardi hidup bahagia dengan ayah dan ibunya.
Usai menjalani hukumannya Ardi pun menjadi aktifis pembela hukum bagi masyarakat miskin yang tertindas. Ribuan kasus yang mengkabing hitamkan masyarakat miskin yang tak bersalah dimenangkan oleh pihaknya. Ardi pun tumbuh sebagai ‘Padi’ yang sesungguhnya. Dari kesuksesannya kini Ardi hidup bahagia dengan ayah dan ibunya.
(Manusia
memang tak luput dari kesalahan, tapi
biarkan karnanya hati yang berbicara, agar kesalahan itu bisa kita
perbaiki, ‘selagi bisa’. Hidup kita ini juga hanya sekali, hendaknya kehadiran
kita dimuka bumi ini bisa berarti untuk orang lain. ) salam hangat YS