Jumat, 23 November 2012

Orang Tua Paling Paham Aku

Aman, searang anak yang terakhir dari keluarga yang tidak mampu. Sebagai seorang anak bungsu dari lima bersaudara Aman selalu diberi perhatian yang lebih dari kekurangan yang ada pada keluarganya.Sang ayah, Miran dan sang ibu Sumi sangat menyayangi Aman karena Aman merupakan anak yang periang dan cerdas.

Hari ini, Aman yang sudah duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Pergaulan mulai melabilkan kehidupan Aman. Pulang sekolah dan sesampainya dirumah Aman membanting tasnya dan melempar buku-bukunya. Sang ibu yang memperhatikan Aman menegurnya.

Ibu: "Nak, kenapa tas dan buku mu engkau lempar. Apakah kamu capek? Makan dulu gi, kalau lapar,"
Aman: "Ndak laper ma, (ungkapnya dengan ketus) udah makan sama temen tadi. Aman buru-buru ni, mau tempat temen,"
Ibu: "Jangan lama-lama, ibu sudah siapkan makanan kesukaan mu (ungkap sang ibu yang mengetahui Aman berbohong sembari menyentuh bagian kanan pahanya),"

Aman kemudian bergegas pergi menemui teman-temannya yang sudah menantinya di depan rumah. Bersama tiga orang temannya, Ato, Ribang dan Semadak, Aman menjambangi sebuah mini market yang terletak di depan sekolahnya.

Ato: "Man!! kamu kan baru ni di geng kita, kalau bener solid ma kita ambil tu tali layangan untuk kita main,"
Aman: "Emang berapaan tu, satu bungkusnya. Aku gak ada uang ni, tadi aja aku maen kabur. Gak sempat minta uang lagi,"
Ribang dan Semadak: "Beeuuhh!!!! gak perlu tu pake uang, ambil ajalah, dah tu kita kabur,"

Aman kemudian masuk ke tokoh tersebut dan melihat-lihat sekelilingnya. Sembari berdebar-debar aman mendekati tumpukan bungkusan tali layang-layang yang berada di sudut rak berwarna putih. Rasa panas mulai terasa menyusuri darahnya hingga ke ubun-ubun ketika jemarinya menyentuh licinnya bungkusan tali layang-layang tersebut.

"kabur...kabur..." suara ketiga temannya yang terdengar samar oleh Aman

           "Mau beli apa dek" tegur sang pemilik tokoh, Amat.
Aman: "Be...Be.. Beli tali layangan pak, ini berapa," tuturnya dengan gemetar.
Amat:: "ohhh.. Saya pikir kamu mau maling tadi, itu lima ribu,"

Sembari melayang-layang. tersirat di pikiran Aman. "mending aku tawarin aja deh, pasti pak Amat tidak mau, aku kan ngak ada uang". Mengikuti pemikirannya Aman pun menawar harga dari tali layang tersebut.

Aman: "ahh.. mahal itu pak, di pasar aja tiga rebu,"
Amat: "Haa iya kah??.. iya deh tiga rebu aja, baru tau saya harganya sudah turun. Minggu lalu masih lima rebu tu"

Bibir Aman pun semakin memucat layaknya tepung gandum, matanya pun mulai berlinang ibarat mata ikan gurame. Dengan hati yang risau Aman meraba saku kanan di dada baju putihnya dan meneruskan ke saku kanan celana pendek merahnya. Sepotong kertas tersa di jari-jari kurusnya.
Seakan mendapatkan oksigen pada saat sekarat terkena sakit sesak nafas, begitu leganya Aman melihat sesosok pahlawan dengan sebilah parang ditangannya tertera pada kertas yang diraihnya. Dengan penuh semangat kemudian Aman membayar sebungkus tali layang-layang yang tidak diminatinya itu. Tanpa menghiraukan teman-temannya Aman bergegas pulang. 

Sesampainya dirumah ia masuk dan menuju ruang makan, yang dimana sang Ayah sudah mengunggu bersama sang Ibu.

Ayah: "Bu uang lima rebu tadi kita simpan ya untuk beli sayur besok pagi, tadi ayah cuma bisa dapat segitu karena hujan, jadi gak ada mereka yang ngojek becak,"
Ibu: "Iya yah,"

Aman yang berdiri disamping meja makan, meneteskan air matanya. ia sadar ternyata apa yang diberikan sang Ibu adalah hasil peluh sang Ayah seharian berkerja di tengah deraan angin dan hujan. Aman, kemudian menundukan kepalanya, duduk bersama Ayah dan Ibunya, mengunyah sayur bayam kesukaannya dengan nafas yang tersumbat. 
Sang Ayah dan Ibu yang melihat menjadi risau.
Ayah dan Ibu: "Kenapa nak??"
Aman : "Aku udah habisin uang Ayah, besok kita tidak bisa makan lagi. Sudah aku belikan tali layangan,"
Ayah: "Udah nak, ngak perlu nangis Ayah masih bisa cari lagi besok. Semoga Bu Minah tetangga gang depan minta anterin dagangan sayurnya besok. Biar Ayah minta bayerin pake sayur bayam kesukaan mu aja,"

(Banyak kejadian yang seharusnya bisa menjadi hikmah bagi kita untuk lebih menghargai para orang tua, peluh dan keringat yang mereka keluarkan adalah untuk kita. Mari sayangi orang tua mu selagi masih ada di muka bumi ini. Sebelum terlambat dan menyesal.)

Tidak ada komentar: